Karena itu, kemudian
dipanggillah istri keempatnya yang paling disayang, “Istriku, aku paling
mencintaimu, melimpahimu dengan pakaian dan perhiasan terbaik dan
termahal. Bila aku mati, maukah kau menyertaiku?”
“Tidak,
aku tidak bisa,” jawab si istri tegas. Jawaban itu sungguh mengagetkan
si bangsawan, sebab, ia sungguh tidak mengira istri yang paling
dicintainya justru menolak mentah-mentah ajakannya.
Maka,
dengan perasaan kecewa, dipanggilnya istri ketiga. Ia lantas menanyakan
hal yang sama kepada istri ketiganya, “Istriku, engkau tahu, aku
mencintaimu dengan segenap hidupku. Maukah kau ikut bersamaku bila aku
mati nanti?”
Jawaban senada ternyata
juga muncul dari istri ketiga itu, “Aku tidak mau! Hidup ini begitu
indah untuk di sia-siakan. Aku akan menikah lagi bila kamu sudah mati.”
Mendengar jawaban ini, hati si bangsawan pun semakin merana.
Dengan
sedih, dia melanjutkan pertanyaannya kepada istri kedua yang segera
dipanggilnya, “Istriku. Saat aku membutuhkanmu, engkau selalu siap
menolongku. Sekarang aku butuh pertolonganmu terakhir kali. Jika aku
mati, maukah engkau pergi bersamaku?”
“Maafkan aku
suamiku, kali ini aku tidak sanggup menolongmu. Aku hanya bisa
mengiringi kepergianmu dengan air mata hingga ke tanah pemakaman.”
Jawaban ini membuat sang bangsawan semakin kecewa dan sakit hati…
Saat
itu, tiba-tiba terdengar suara berbisik merdu, “Aku akan selalu
bersamamu suamiku. Aku akan ikut ke mana pun engkau pergi.” Sang
bangsawan menoleh dan mendapati istri pertama yang rupanya sejak tadi
sudah datang tanpa disadarinya. Ia adalah sosok perempuan yang sangat
setia dan telah berjasa seumur hidupnya dalam menjaga kekayaan dan
kejayaan sang bangsawan, sekaligus mengurus rumah tangga mereka. Sayang,
sang bangsawan kurang mencintai dan jarang memperhatikannya sehingga si
istri tampak kurus, lemah dan kurang terawat.
Mendengar
bisikan tulus istri pertama itu sang bangsawan sangat tersentuh
hatinya. Dia pun berucap lirih, “Istriku, walau terlambat menyatakannya,
maafkan aku. Aku seharusnya lebih memperhatikan dan menyayangimu selagi
aku bisa.” Maka, dibelailah penuh kasih sayang istri pertamanya itu.
Bangsawan itu berjanji dalam hati, sebelum ajal benar-benar menjemput,
ia akan lebih memperhatikan istri pertamanya itu.
Netter yang luar biasa,
Cerita tersebut sesungguhnya adalah perumpamaan kisah perjalanan hidup anak manusia.
Istri keempat diibaratkan sebagai tubuh jasmani kita. Tidak peduli
bagaimana pun usaha kita untuk mempercantik tubuh kita dengan balutan
gaun yang indah dan aneka perhiasan mahal, pada saat ajal tiba, tubuh
beserta aksesori apa pun tidak mungkin akan pergi bersama kita. Tak
mungkin kita membawa itu semua bersama kita saat mati nanti.
Kemudian,
istri ketiga ibarat kekayaan dan jabatan yang berhasil kita capai.
Ketika kita mati, tidak mungkin semua akan dibawa serta. Sebab, akan ada
orang lain yang menggantikan jabatan dan mengambil alih kekayaan kita.
Sementara
itu, istri kedua, bisa diibaratkan sebagai keluarga, tetangga, dan
teman-teman di sekeliling kita. Saat kita hidup, tidak peduli sedekat
dan sebaik apa pun mereka, saat kematian tiba, mereka hanya akan
mengantar dan menangisi kepergian kita sampai ke tanah pemakaman.
Yang
terakhir dan paling setia, yakni istri pertama, dapat diibaratkan
sebagai kesadaran akan amal perbuatan serta nilai spiritual yang
ditanamkan sepanjang hidup kita. Tanpa terasa, kadang amal dan kebajikan
mungkin telah kita abaikan sepanjang waktu, apalagi selama mengejar
kesenangan duniawi. Bahkan, tak jarang kita melupakannya, meski banyak
pula yang mengingatkan. Padahal, sebenarnya, justru amal dan
kebajikanlah, satu-satunya hal yang akan menyertai kita, kemana pun kita
pergi. Kebajikan pulalah yang akan dikenang orang jika kita sudah tidak
ada di dunia ini lagi.
Maka, mari kita segera mengembalikan kesadaran untuk berbuat amal kebajikan bagi sesama.
Kita jadikan waktu yang masih kita miliki untuk menebar kasih dan
menanam biji kebaikan. Jangan sampai, saat ajal menjemput, terbit
penyesalan, sebab, semua itu tak kan berguna lagi. Dan, kita tanamkan
pula nilai-nilai kesadaran spiritual dengan selalu mensyukuri kebesaran
nikmat yang telah diberikan Tuhan kepada kita.
Sadari
sejak awal, sejak saat ini, selagi Yang Kuasa masih memberi napas
kehidupan, untuk selalu memelihara dan memupuk sikap mulia dengan rajin
membantu sesama. Mari, jadikan amal baik dan perbuatan luhur sebagai pendamping setia kita saat ajal menjelang, sehingga, tak kan ada penyesalan…
________________MajalahLuarBiasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar